Hukum Islam tentang Nikah Sirih

Hukum Islam Tentang Nikah Siri


<http://hizbut-tahrir.or.id/wp-content/uploads/2009/03/nikah-siri1.jpg>*
HTI-Press.* Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas
terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan
undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar,
Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin
kontrak, dan poligami.

Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg,
pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan
dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta
rupiah. Tidak
hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang
dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap
penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat
dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara.
Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap
juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. [Surya Online, Sabtu, 28
Februari, 1009]

Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri,
maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika
suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak
memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika
isteri yang meninggal dunia.

Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang
melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan
siri tidak memiliki hubungan pewarisan?

* *

*Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri*

Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; *Pertama*;
pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia
(siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap
absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat
belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; *kedua*,
pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga
pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak
mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang
karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada
pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang
pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. *Ketiga*,
pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu;
misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang
terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena
pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan
pernikahannya.

Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.

*Hukum Pernikahan Tanpa Wali*

Adapun mengenai *fakta pertama*, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya
Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam
ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra;
bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

لا نكاح إلا بولي

*“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.”* [HR yang lima kecuali
Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, *Nailul Authar *VI: 230 hadits ke
2648].**

Berdasarkan *dalalah al-iqtidla’*, kata ”laa” pada hadits menunjukkan
pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat
sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits
yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل

*“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka
pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. *[HR yang
lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI:
230 hadits ke 2649].**

Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:

لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها

*”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga
tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina
itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. *(HR Ibn Majah
dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits
ke 2649)

Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan
tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat
kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja,
syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang
terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan
tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan
kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang
hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya
kepada pelaku pernikahan tanpa wali.

*Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil*

Adapun fakta *pernikahan siri kedua*, yakni pernikahan yang sah menurut
ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil;
sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum
pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga
pencatatan negara

Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat,
dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga
berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap
kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika
perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan
yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika
ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang
telah ditetapkan oleh syariat.

Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh
dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi
di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh
menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah,
dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.

Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut;
*pertama*, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan
lain sebagainya; *kedua*, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan
mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; *ketiga*, melanggar aturan-aturan
administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan
mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh
negara.

Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan
di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal
sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya,
pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang
digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai
berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal
ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat
walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.

Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan
negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.

*Pertama*, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga
pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk
membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan
orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy
(bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara.
Ketika
pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang
telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat
bukti (*bayyinah*) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang
berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan,
seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya
saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat
bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang
menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat
bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti
untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen
tertulis. Pasalnya,
syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis,
seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain
sebagainya. Berdasarkan
penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap
memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir
dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri
pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti
syar’iy. Negara
tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak
dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan
pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri
tersebut.

*Kedua*, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang
dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam
yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak
dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan
masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga
pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga
pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya
sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan
ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan
pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa
pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.

Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan
riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau
mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun
perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di
dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ
مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا
يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ
وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا
يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ
ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ
بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ
يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ
الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى
وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ
صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ
تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا
تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا
فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

”*Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang
lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah
mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah
penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang
demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu*”.[TQS AL Baqarah (2):

*Ketiga*, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak
menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan *
mukhalafat*. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang
diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk
mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara
pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah,
eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang
mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang
ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib
ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan
khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan
mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang
khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan
melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak
sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh
memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya=

1 Response to "Hukum Islam tentang Nikah Sirih"

Mulyani Says :
08 April, 2009

soklah Comment

Posting Komentar

Free Web Hosting with Website Builder